Ikhtiar pencarian obat (drug discovery) terdiri dari 2 tahap, yaitu: (1) menyediakan calon obat untuk diuji aktivitasnya; (2) menguji aktivitas calon obat itu. Kedua tahap ini, hingga kini, telah mengalami berbagai perkembangan.
Dahulu, calon obat dicari pada sumber-sumber hayati yang lazim, yaitu tumbuhan dan hewan. Belakangan, calon obat dicari pula pada sumber-sumber hayati lainnya, yaitu mikroorganisme (terutama fungi) dan biota laut (terutama spons). Dahulu, calon obat disediakan dalam bentuk ramuan bahan-bahan dari tumbuhan atau hewan. Kemudian, orang menemukan cara untuk mencuplik (mengisolasi) kandungan aktif dari campuran itu, yaitu suatu senyawa organik, sehingga senyawa itu sajalah yang diuji aktivitasnya. Senyawa bioaktif inilah yang sebenarnya dinamakan obat (drug). Lebih lanjut, orang mampu menyintesis senyawa itu atau senyawa lainnya yang strukturnya mirip dengan senyawa itu (analognya), atau mengubah (memodifikasi) senyawa itu dengan teknik-teknik Sintesis Organik, sehingga produk sintesis itulah yang diuji aktivitasnya sebagai calon obat.
Pada awalnya, calon obat diuji langsung terhadap manusia. Namun, setelah orang menyadari resiko yang dapat ditimbulkan oleh calon obat, maka calon obat itu diuji lebih dulu secara in-vitro (terhadap enzim, sel, atau mikroorganisme pada alat gelas) atau in-vivo (terhadap rodensia, lalu mammalia), sebelum terhadap manusia.
Salah satu capaian yang patut disyukuri di dalam perkembangan pencarian obat adalah disadarinya hubungan antara struktur calon obat dan aktivitasnya (Structure-Activity Relationship = SAR). Telah disinggung di atas bahwa obat pada hakikatnya merupakan suatu senyawa organik bioaktif. Senyawa ini memiliki struktur atau kerangka Karbon yang unik, yang dapat diungkap dengan alat Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Keunikan struktur senyawa tersebut berpengaruh terhadap aktivitasnya. Buktinya adalah: bila struktur itu diubah, maka aktivitasnya dapat berubah pula.
Contoh hubungan struktur-aktivitas itu ada pada sebuah paten Indonesia mengenai Kalanon yang diajukan oleh Hanafi dkk dari Pusat Penelitian Kimia – LIPI (nomor pendaftaran: P00200600674). Kalanon (calanone, C27H20O5) adalah suatu senyawa organik berujud padatan kuning muda, yang dapat dicuplik dari getah pohon Bintangor Batu (Calophyllum teysmannii) di hutan Kalimantan. Senyawa ini memiliki aktivitas yang rendah (IC50 > 20 μg/mL) terhadap biakan sel kanker HCT116. Pada tahun 2005, Hanafi dkk mengubah gugus keto dari senyawa tersebut menjadi gugus hidroksi, lalu mengubah gugus hidroksi itu menjadi gugus ester (Gambar 1). Ester tersebut ternyata memiliki aktivitas in-vitro yang lebih tinggi (IC50 = 1,29 μg/mL). Dari temuan ini, dapat disimpulkan bahwa pengubahan gugus keto pada Kalanon menjadi gugus ester dapat meningkatkan aktivitasnya secara in-vitro.
Penelitian mengenai Kalanon di atas bersifat coba-coba (trial and error). Ada sejumlah produk modifikasi Kalanon yang disintesis dan diuji aktivitasnya oleh Hanafi dkk, yang memberikan aktivitas-aktivitas yang rendah, sebelum mereka memperoleh hasil terbaik di atas. Penelitian di laboratorium basah (wet laboratory) seperti demikian bila dilakukan dalam skala besar, akan menggunakan bahan dan alat laboratorium, serta tenaga, waktu, dan dana yang banyak. Kalau hasilnya bisa diramalkan dengan akurat, maka struktur-struktur yang mungkin akan memberikan aktivitas yang rendah dapat dihindari. Dengan demikian, jumlah struktur yang akan diteliti aktivitasnya menjadi lebih sedikit. Dengan berkurangnya jumlah struktur tersebut, maka sumberdaya-sumberdaya yang kelak terpakai untuk meneliti aktivitasnya akan menjadi lebih sedikit pula. Atau dalam ungkapan lain: ramalan aktivitas yang akurat menyebabkan penghematan sumberdaya penelitian SAR. Inilah manfaat yang kita harapkan dari komputasi di dalam pencarian obat.
Hakikat Komputasi
Untuk meramalkan aktivitas sejumlah besar calon obat, seorang praktisi komputasi meniru suasana pengujian aktivitasnya di laboratorium basah dengan model-model Fisika atau Matematika (seperti: struktur 3 dimensi calon obat) sebagai pengganti bahan-bahan laboratorium tersebut. Model-model ini kemudian dinyatakan di dalam persamaan-persamaan Matematika yang kemudian diselesaikan oleh komputer dengan kapasitas dan kelajuan yang melebihi kapasitas dan kelajuan manusia. Hasilnya berupa suatu bilangan bagi tiap calon obat yang dapat dibandingkan satu dengan yang lainnya. Perbandingan ini merupakan ramalan tingkat aktivitas suatu calon obat relatif terhadap calon obat lainnya. Demikianlah cara meramalkan aktivitas calon obat dengan metode komputasi. Dengan demikian, calon-calon obat yang diramalkan akan memberikan aktivitas yang rendah dapat dihindari.
Akurasi komputasi bergantung kepada model Fisika atau Matematika yang dibuat untuk meniru suasana pengujian aktivitas di laboratorium basah. Semakin dekat model itu dengan suasana pengujian aktivitas tersebut, maka semakin tinggi akurasi komputasinya. Tentu saja, tidak ada akurasi 100�karena akurasi demikian hanya bisa dicapai dengan pengujian aktivitas yang sebenarnya. Untuk mendekati akurasi 100�aja, diperlukan persamaan Matematika yang rumit yang sulit diselesaikan dengan cepat oleh komputer. Padahal, komputasi diharapkan dapat memberikan ramalan lebih cepat daripada penyediaan calon obat dan pengujian aktivitasnya di laboratorium basah. Karena itu, perlu ada kompromi antara tuntutan akan akurasi tersebut dan kelajuan komputasi. Akurasi yang moderat tidak apa-apa, asalkan komputasinya laju. Seiring dengan kemajuan di dalam pemodelan, persamaan Matematika, pemrograman, dan perangkat keras komputer, akurasi komputasi kelak akan meningkat, in sya-a Allah.
Seiring dengan kemajuan-kemajuan itu pula, kita memperoleh manfaat lainnya dari metode komputasi, yaitu visualisasi kerja obat. Molekul obat yang tidak kasat mata (mikroskopik) dan gerakannya yang sangat cepat dapat diperiksa dengan lebih seksama dengan fasilitas grafis (Graphical User Interface = GUI) yang tersedia pada perangkat lunak komputasi.
Untuk penelitian SAR calon obat skala besar, biaya komputasi jauh lebih rendah daripada biaya pengujian aktivitas di laboratorium basah. Menurut Young (2009), biaya per calon obat (cost per compound) untuk komputasi lazimnya adalah 10 dollar AS, sedangkan untuk pengujian aktivitas secara in-vitro lazimnya adalah 400 – 4.000 dollar AS. Dengan demikian, metode komputasi dapat membantu menghemat sumberdaya penelitian SAR calon obat.
Patut disadari sejak awal bahwa komputasi bukanlah pengganti total pengujian aktivitas di laboratorium basah. Ramalan dari komputasi pada akhirnya harus tetap dibuktikan dengan pengujian aktivitas di laboratorium basah. Kepercayaan konsumen terhadap obat harus dibangun berdasar pengujian tersebut, bukan berdasar komputasi.
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya hayati. Keragaman sumberdaya hayati Indonesia tertinggi ke-2 di dunia setelah Brazil. Bahkan, sebagian dari sumberdaya itu hanya terdapat di Indonesia saja (endemik). Boleh jadi, semakin khas suatu sumberdaya hayati, semakin unik pula struktur senyawa organik yang dikandungnya. Dengan akurasi dan efisiensi yang ditawarkannya, metode komputasi dapat membantu di dalam mengungkap potensi bioaktivitas senyawa itu. Dengan terungkapnya potensi tersebut, sumberdaya hayati yang dapat diperbarui itu akan memperoleh nilai dagang yang baru (added value) yang bermanfaat bagi perekonomian rakyat.
sumber : Lipi
0 komentar:
Posting Komentar